DI SELANDIA BARU, PENGUNJUNG SUPERMARKET BISA JADI KASIR SENDIRI!

Sebenarnya kesadaran masyarakat kita yang rendahlah yang membuat angka ketidakjujuran setiap pribadi di Indonesia menjadi sangat tinggi. Jika sudah demikian, ketidakjujuran menjadi hal yang wajar terjadi, lalu berkembang menjadi sikap serakah, ingin menang sendiri, dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang diinginkan. Kenyataan yang terjadi di Selandia Baru seharusnya bisa dijadikan pelajaran berharga buat kita masyarakat Indonesia.
kejujuran-berbisnis
Selandia Baru ditempatkan pada urutan pertama dalam Indeks Persepsi Korupsi tahun 2011, oleh Transparency International dalam rilisnya Desember 2011 lalu, dengan skor 9,5. Indeks Persepsi Korupsi menilai negara-negara berdasarkan level persepsi terhadap korupsi sektor publik. Survei dan penilaian dilakukan oleh institusi-institusi independen dan bereputasi. Sebanyak 183 negara diberi skor 0 hingga 10, mewakili angka paling korup hingga paling bersih.

Prestasi itu disematkan pada Selandia Baru sejak tahun 2006. Tahun ini skornya naik 0,2 lebih baik. Indonesia tahun 2011 berada di urutan 100 dengan skor 3,0. Ini posisi yang sudah lebih baik bagi negara kita. Tahun lalu Indonesia berada di urutan 110 dengan skor 2,8.

Hasil survei Transparancy Indonesia (TI) lima tahun lalu sempat menghebohkan warga Balikpapan, karena menempatkan Kota Madinatul Iman ini masuk dalam 10 besar kota yang korup di Indonesia. Ketika itu para tokoh masyarakat Balikpapan terbelalak, hampir tak percaya, karena meyakini Balikpapan selama ini merupakan kota paling bersih dari perilaku korupsi, setidaknya di Kalimantan.

Maka ketika itu mereka mengundang langsung pimpinan TI, Todung Mulya Lubis untuk menjelaskan survei TI yang menempatkan Balikpapan masuk kota paling korup. Dari penjelasan itu diketahui, bahwa masih banyaknya pungutan tidak resmi dalam hubungan aparat pemerintah dengan masyarakat, khususnya kalangan pengusaha, memberikan skor buruk.

Nah, di Selandia Baru, tampaknya telah terbangun budaya jujur. Itu saya lihat ketika sedang berbelanja di supermarket “Count Down” di kawasan Victoria, Kota Auckland. Di sana para pengunjung super market bisa jadi kasir sendiri. Disediakan mesin-mesin kasir yang mirip dengan supermarket yang ada di negeri kita. Ada pemindai barcode-nya yang langsung menunjukkan harga satuan yang kita beli.

Setelah tuntas memasukkan harga satuan barang yang dibeli, muncul harga total belanjaan kita, untuk bayar kita diberi pilihan tunai atau pakai kartu kredit/debet. Ada karyawati “Count Down” yang selalu siap membantu jika pengunjung menghadapi masalah sebagai “kasir” sendiri itu. Saya cermati para “kasir sendiri” itu, semuanya lancar. Setelah membayar, mereka langsung keluar super market yang sangat ramai pada setiap akhir pekan itu. Maklum letaknya di kawasan dekat asrama mahasiswa.

Yang tidak saya dapatkan jawaban dari supermarket itu: adakah pembeli yang curang, tidak membayar belanjaannya sendiri yang dikasirinya itu? Para karyawati di supermarket itu, yang sebagian besar berwajah India pun tidak bisa menjawab pasti, adakah yang curang? “Yang jelas supermarket kami berkembang, membuka cabang di banyak tempat di negara ini,” jawab salah seorang karyawatinya.

Ketika berada di pabrik mesin cetak Webco New Zealand di Kota Tauranga, saya juga melihat kotak besar mesin pendingin minuman yang berisi minuman kaleng maupun botol, sebagian sudah tidak berada di tempatnya. Setiap jenis menuman dilabeli harga. Bir misalnya, harganya 4 NZD (New Zealand Dolar). Satu NZD setara dengan tujuh ribu rupiah. Coca-cola 2 NZD. Di sebelah kotak mesin itu ada kotak karton berisi uang recehan NZD kertas maupun koin.

Menurut salah satu karyawan di sana, minuman itu tidak gratis. Siapa yang ambil minuman ya harus bayar, duitnya ditaruh di kotak itu, kalau ada kembaliannya ya ambil sendiri kembaliannya. Wah..sungguh hal yang tidak pernah ditemui di Indonesia.

Karena penasaran, saya bertanya kepada salah satu karyawan di sana: adakah yang ketahuan ambil minuman di kotak itu tapi tidak bayar? Karyawan itu hanya tersenyum. Jawabannya hanya senyuman!!

Karena pabrik itu sudah sepuluh tahun lebih berdiri, dan tradisi seperti itu sudah berjalan sejak pabrik pertama kali beroperasi, saya hanya bisa meyakini bahwa tidak ada yang curang di perusahaan itu.

Membangun budaya jujur tampaknya memang harus dimulai dari hal yang kecil-kecil di masyarakat. Saya semakin yakin bahwa sikap korup itu tidak ada hubungannya dengan agama. Sebab di negeri kita betapa banyak yang tekun beragama, tetapi juga tekun korupsi. Bahkan ada koruptor yang ditangkap sepulang dari menunaikan ibadah haji atau umrah. Bahkan pula, ada menteri agama di negeri kita ini yang masuk penjara karena korupsi.(sumber)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...