Ingin Mahir Berfilsafat? Lupakan Agama..!!!!
Anda boleh kaget. Dan memang harus kaget.
Dan kekagetan anda, suatu bukti bahwa anda belum bisa berfilsafat.
Tahan dulu nafas anda. Apalagi emosi.
Filsafat, adalah metode. Metode berpikir. Murni berpikir.
Merenung? Itu asesories filsafat. Intinya, sejauh yang saya pahami: tetap kegiatan berpikir.
Sekarang coba anda pikir.
Apa alasan anda taat beragama?
Anda jawab: Karena takut berdosa.
Siapa yang mengancam anda?
Anda jawab: agama (Tuhan)
Kapan Tuhan mengancam anda?
Anda jawab: jawabannya sudah jelas dalam kitab suci
Kenapa anda percaya kitab suci?
Anda jawab: Karena kitab suci itu berasal dari Tuhan.
Kenapa anda yakin itu dari Tuhan?
Karena dibawa oleh Nabi utusan Tuhan.
Dari mana anda tahu Nabi itu utusan Tuhan?
Kitab suci menyatakan demikian.
Kenapa anda langsung percaya?
Karena kitab suci itu sudah dijamin kebenarannya.
Siapa yang menjamin?
Ayat ayat kitab suci itu sendiri yang menyatakannya.
Coba anda perhatikan. Apapun pertanyaan saya, tetap anda merujuk ke kitab suci. Itu tandanya anda tidak bisa berfilsafat. Tapi saya menginterogasi anda adalah dalam rangka berfilsafat. Saya terus bertanya. Terus dan terus sampai ke batas yang tidak bisa anda jawab. Tanpa dicampuri perasaan atau keyakinan. Tapi murni meluncurkan apa yang terpikirkan.
Intinya, secara kasar, berfilsafat bisa diartikan mempertanyakan segala sesuatu sampai ke akar-akarnya. Mengkaji suatu persoalan sampai ke akar persoalan. Mempersoalkan substansinya. Mempertanyakan hakikat segala sesuatu.
Dan itu? Hanya bisa dilakukan dengan berpikir kritis. Dengan membuang segala dogma kepercayaan. Selagi anda masih menyisipkan dogma kepercayaan, maka bagi saya, sama artinya anda belum berfilsafat. Paling tinggi anda hanya melakukan rasionalisasi. Melakukan pembenaran terhadap apa yang anda yakini. Sikap seperti ini, tidak akan pernah membawa anda beranjak keluar dari apa yang anda yakini. Berapapun anda membaca, berpikir, diskusi, pada intinya anda hanya akan bersikukuh untuk membenarkan apa yang anda yakini. Ini yang dikenal dengan istilah circular reasoning. Pikiran atau logika yang berputar-putar. Berputar-putar pada satu lingkaran paradigma tertutup. Contohnya pada diaog diatas. Apapun pertanyaan yang diajukan, tetap dijawab dengan kitab suci.
Padahal,
Yang dipertanyakan justru kitab suci itu sendiri. Soal legitimasinya. Soal klaimnya. Kenapa kitab suci itu anda anggap sudah final? Sudah Absolut? Apa dasarnya? Tapi anda tetap menjawabnya dengan kitab suci itu sendiri. Ini mirip ketika anda ditanya. Apa alasan anda mengaku bahwa diri anda hebat? Anda ngotot menjawab karena anda meyakini diri anda hebat. Padahal untuk membuktikan kehebatan anda, harus ada eksternal eviden. Harus ada bukti dari luar diri anda. Misalnya anda punya banyak karya. Dan publik menggandrungi karya anda. Dengan kata lain dunia mengakuinya. Tapi yang terjadi, anda hanya mengaku sendiri. Anda ngotot. Inilah circular reasoning. Inilah rasionalisasi. Melakukan pembenaran terhadap apa yang diyakini.
Jadi, beranikah anda melakukannya?
Jika tidak, jangan pernah bermimpi bisa berfilsafat.
Membaca, menghafal, ataupun mengutuip afforisme filasafat, anda tetap bisa.
Bahkan anda bisa bercerita panjang lebar tentang pandangan Pemikir tertentu.
Tapi kegiatan anda itu belum berfilsafat. Tapi baru mengutip. Menghafal. Anda baru tukang kutip.
Berfilsafat, akhirnya membangkitkan sikap kritis dalam diri.
Ibarat sifat air, berfilsafat adalah aliran berpikir yang tiada henti.
Bila berhenti, maka akan jatuh pada dogma.
Karena itu, berfilsafat, juga identik dengan mencurigai apa yang dipikirkan sendiri.
Terus menerus. Karena roh filsafat adalah keraguan. Keheranan. Ketakjuban.
Dan kegiatan berfilsafat, adalah memburu semua itu sampai ke lubang persembunyiannya yang paling dalam.
source